Seni lukis modern Indonesia dimulai dengan masuknya
penjajahan Belanda di Indonesia. Kecenderungan seni rupa Eropa Barat pada zaman
itu ke aliran romantisme membuat banyak pelukis Indonesia ikut mengembangkan
aliran ini.
Raden Saleh Syarif Bustaman adalah salah seorang asisten
yang cukup beruntung bisa mempelajari melukis gaya Eropa yang dipraktekkan
pelukis Belanda. Raden Saleh kemudian melanjutkan belajar melukis ke Belanda,
sehingga berhasil menjadi seorang pelukis Indonesia yang disegani dan menjadi
pelukis istana di beberapa negera Eropa. Namun seni lukis Indonesia tidak
melalui perkembangan yang sama seperti zaman renaisans Eropa, sehingga
perkembangannya pun tidak melalui tahapan yang sama. Era revolusi di Indonesia membuat
banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke
arah “kerakyatan”. Objek yang berhubungan dengan keindahan alam Indonesia
dianggap sebagai tema yang mengkhianati bangsa, sebab
dianggap menjilat kepada
kaum kapitalis yang menjadi musuh ideologi komunisme yang populer pada masa
itu. Selain itu, alat lukis seperti cat dan kanvas yang semakin sulit didapat
membuat lukisan Indonesia cenderung ke bentuk-bentuk yang lebih sederhana,
sehingga melahirkan abstraksi.
Gerakan Manifesto Kebudayaan yang bertujuan untuk melawan
pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950an lebih memilih
membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era
ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan
alat propaganda. Perjalanan seni lukis Indonesia sejak perintisan R. Saleh
sampai awal abad XXI ini, terasa masih terombang-ambing oleh berbagai benturan
konsepsi.
Kemapanan seni lukis Indonesia yang belum mencapai tataran
keberhasilan sudah diporak-porandakan oleh gagasan modernisme yang membuahkan
seni alternatif atau seni kontemporer, dengan munculnya seni konsep (conceptual
art): “Installation Art”, dan “Performance Art”, yang pernah menjamur di
pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul
berbagai alternatif semacam “kolaborasi” sebagai mode 1996/1997. Bersama itu
pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang
bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan
bisnis alternatif investasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar